Cakraline.com. Jakarta- Di tengah bombardir udara tak berperikemanusiaan yang dilakukan Israel atas Jalur Gaza di Palestina, masyarakat dunia makin lantang menyerukan boikot atas produk-produk Israel dan produk-produk yang terkait dengan Israel. Nah, di antara produk-produk itu adalah produk-produk dengan merek yang terafiliasi dengan Danone, raksasa nasional asal Perancis.
AQUA, merek penguasa pasar air minum dalam kemasan di Indonesia, pun segera berkelit dari terpaan badai boikot produk “pro-Israel” itu. Ini karena induknya, pemilik saham terbesar sekaligus pengendali merek ini, adalah Danone, dan raksasa makanan dan minuman dunia ini disebut punya jejak keterkaitan dengan rezim apartheid Israel yang mengangkangi tanah Bangsa Palestina sejak 75 tahun silam.
Karena itu, Direktur Komunikasi Danone Indonesia, Arif Mujahidin, memilih berhati-hati dalam menjelaskan posisi perusahaannya. Arif menegaskan, Danone adalah perusahaan publik yang beroperasi di 120 negara. Dia menyebut, Danone, sebagai entitas swasta, tidak memiliki afiliasi dengan politik apa pun.
“Danone tidak memiliki pabrik dan tidak beroperasi di Israel,” katanya. “Di Indonesia, Danone memiliki 25 pabrik dengan 13.000 karyawan, dan melayani lebih dari 1 juta pedagang di seluruh negeri,” kata Arif Mujahidin dalam keterangan tertulis yang diterima Cakraline.com, Jum’at 17 /11/2023.
Apa faktanya?
Arif benar saat bilang Danone adalah perusahaan publik. Danone S.A, demikian nama resminya, merupakan gergasi multinasional dengan tentakel bisnis tersebar di 120 negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, misalnya, Danone adalah pemegang saham terbesar sekaligus pengendali di sejumlah bisnis basah dan strategis. Di sektor air minum dalam kemasan, Danone pemegang saham dan pengendali brand AQUA, VIT, dan Mizone via kepemikan atas PT Aqua Golden Mississippi (74% saham), PT Tirta Investama (74%), dan PT Tirta Sibayakindo (55,5%). Di bisnis susu bayi formula dan minuman bernutrisi, Danone pengendali atas semua produk susu dengan brand Nutricia dan SGM via PT Nutricia Indonesia Sejahtera (100%), PT Sarihusada Generasi Mahardhika (99,97%), dan PT Sugizindo (99,97%).
Kembali ke Eropa. Sebagai perusahaan terbuka, bagian terbesar dari saham Danone (78%) sebenarnya bukan di tangan masyarakat umum tapi pada belasan ‘investor institusional’, sebutan untuk perusahaan investasi raksasa. Dalam yang terakhir ini, tercatat separuh saham dimiliki oleh perusahaan investasi raksasa asal Amerika Serikat: Blackrock.
Sampai di sini, keterkaitkan Danone dengan Israel mulai terbaca. Ini karena Blackrock, berbasis di New York, punya investasi yang masif di Israel dan di sejumlah perusahaan mesin perang, termasuk Lockheed Martin, RTX, Northrop Grumman, Boeing, dan General Dynamics, yang semuanya memproduksi persenjataan perang top-notch, yang kemudian dipergunakan Israel untuk membunuh belasan ribu warga Pelastina di Gaza—dimana nyaris separuhnya anak-anak—dalam 40 hari terakhir.
Singkat cerita, Blackrock adalah bandar perusahaan-perusahaan yang mempersenjatai mesin-mesin perang Israel. Atau dengan kata lain, Blackrock-lah yang menjadikan Israel dengan mudah terlihat layaknya monster haus darah di layar televisi dan handphone warga dunia hari-hari ini. Bombardir serangan udara Israel atas Gaza dalam sebulan lebih terakhir telah berujung genosida terbesar dalam abad ini; menewaskan lebih dari 14.000 orang.
Blackrock juga bikin orang banyak senewen karena sikap politik bosnya, Larry Fink. Fink, di banyak postingan media sosial, tak segan menunjukkan dirinya sebagai pendukung hardcore rezim apartheid Israel. Dia termasuk yang senyum-senyum dengan prospek pecahnya perang regional di Timur Tengah. Saat pemerintahan Presiden Joe Biden di Washington mengerahkan armada kapal induk bertenaga nuklir pada bulan lalu, sebagai upaya ‘menakut-nakuti’ Iran, Fink bersemangat menggambarkannya sebagai “pernyataan spektakuler dari Amerika Serikat”.
Pekan lalu di New York, banyak orang Yahudi yang tercerahkan, yang tak setuju dengan Zionisme Israel, jadi mutung setelah Fink, juga seorang Yahudi, mempos pesan di internet yang intinya justru mengecam Hamas karena pejuang Palestina ini menyebabkan tewasnya 1.200 warga sipil di Israel (padahal, banyak laporan menyebut militer Israel juga terlibat dalam tewasnya warga Israel tersebut). Belum cukup, Fink juga melewatkan Israel dari daftar kecamannya, seolah kebengisan Israel atas Gaza terjadi di planet lain.
Sikap Fink yang mudah ditebak itu, juga fakta perusahaannya menguasai sejumlah besar saham Danone, menjadikan Danone, dan unit-unit usahanya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, ikut terseret karena dianggap sebagai bagian dari mesin-mesin kapitalis global yang aktif membandari Israel.
Bila uang yang menjadi timbangan, cerita lebih mudah dipahami. Danone, pada 2022, misalnya, tercatat membukukan penjualan global sekitar Rp550 triliun, atau setara seperenam APBN Indonesia pada 2023. Ini angka yang besar, tentunya. Dari angka yang jumbo itu, Rp27 triliun di antaranya adalah kontribusi penjualan Danone di Indonesia.
Mengingat fakta Blackrock adalah pemegang saham utama di Danone dan fakta bahwa Danone merupakan pengendali pada unit-unit bisnisnya di Indonesia, ini berarti dari setiap sen penjualan produk AQUA (baik kemasan gelas, botol maupun galon), VIT, Mizone, Nutricia dan SGM, ada sebagiannya—untuk tidak menyebut sebagian besar—yang lari ke headquarter Danone di Perancis, lalu dari situ meresap ke brankas Blackrock di New York dan, selanjutnya, Anda bisa menebak sendiri, kan?
Dengan cerita di atas, orang jadi lebih punya perspektif untuk menilai klaim Arif, juru bicara Danone Indonesia, bahwa Danone tidak memiliki pabrik dan tidak beroperasi di Israel.
Perspektif.
Sedikit sejarah. Ceritanya, pada dekade 1970-an, Danone yang kala itu masih bernama Groupe Danone, menjalin kerjasama strategis dengan Strauss Dairies, produsen makanan dan minuman kemasan di Israel. Kerja sama kala itu termasuk mencakup bantuan permodalan, penjualan produk Danone dan kesepakatan alih-teknologi. Boleh dikata, Danone-lah yang membukakan jalan bagi Strauss Group kepada inovasi dan keilmuan first-class yang dihasilkan laboratorium-laboratorium riset Danone di berbagai negara, utamanya fasilitas riset utama Danone, Centre Daniel Carasso, di Perancis.
Pada 1974, Danone membukakan jalan bagi Strauss untuk bisa memproduksi Yogurt. Namun pada 1982, di tengah membesarnya gerakan boikot dunia Arab atas produk Israel, Danone memutuskan menarik diri. Danone pergi dengan memberi syarat bahwa tiga produk unggulannya, Dani, Danone, dan Daniela, bisa tetap diproduksi di Israel asalkan dengan tulisan dalam aksara Ibrani.
Pada 1996, setelah 14 tahun melipir untuk menghindari kemarahan dunia Arab, Danone kembali ke Israel. Per Desember pada tahun yang sama, Danone membeli 20% saham Strauss Health Ltd. (sebelumnya bernama Strauss Dairies Ltd.) dan Strauss Holdings (sebelumnya Strauss Nahariya Dairy Ltd.). Pembelian itu termasuk pemberian lisensi bagi perusahaan di tanah jajahan itu untuk menggunakan know-how Danone dalam produksi seluruh produk fresh dairy Danone. Kehadiran Danone inilah yang melapangkan jalan bagi Strauss untuk menjadi raksasa makanan dan minuman kemasan di Israel.
Dalam sebuah sirkular resmi belum lama ini, Danone menyebut bahwa per 31 Desember 2022, perusahaan tercatat punya saham pada sebuah entitas bisnis di Israel, yakni Strauss Health Ltd. dengan porsi kepemilikan saham 20%.
Jadi, benarlah bahwa Danone memang, secara kasat mata, tidak memiliki pabrik dan tidak beroperasi di Israel. Namun, seperti sebuah gelas separuh penuh, benar pula bahwa Danone mendapatkan keuntungan rutin dari operasi dan bisnis salah satu perusahaan makanan dan minuman kemasan terbesar di Israel, Strauss.
Belum selesai. Mengingat fakta bahwa pabrik Strauss berlokasi di atas tanah warga Palestina yang terjajah dan fakta bahwa hari demi hari dalam beberapa dekade terakhir Strauss bisa menghasilkan keuntungan yang fantastis di tengah pendudukan, opresi dan genosida Israel atas bangsa Palestina, ini berarti Danone, dan seluruh unit usahanya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, ikut kecipratan darah orang-orang yang terzalimi di Palestina. Boikot?