Cakraline.com. Tatapan mata bidan Alit Sulastri ST (47) terlihat kosong saat rumah dua lantai yang selama ini digunakan sebagai tempat rumah bersalin warga kampung Awilarangan, desa Banjot, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat, sudah diratakan dengan tanah.
Rumah itu harus dirobohkan karena hancur akibat diguncang gempa 5,6 magnituda pada 22 November 2022 lalu. ”Ada perasaan sedih, gimana juga rumah ini penuh kenangan selama 28 tahun ditempati, sekarang harus dirobohkan, jadi sedih, tapi semua kembalikan ke Allah. Sudah kehendak Yang Maha Kuasa, “ ungkap bidan Alit Sulastri, Jum’at (30/12/2022).
Dua alat berat terlihat secara perlahan membongar tiap sudut kediamanan Alit. Ibu tiga anak ini tak kuasa menahan tanggis menyaksikan rumah dirobohkan. Rumah itu sudah saatnya dirobohkan karena sudah tidak layak ditempati.
Untuk membangun kembali rumah yang hancur Alit belum bisa memastikan kapan waktunya. Dia menunggu instruksi pemerintah provinsi Jawa Barat, apakah kampung Nagrak bisa dibangun kembali atau warga akan direlokasi.
”Belum tahu, apakah boleh dibangun kembali rumah atau tidak. Kalau boleh rumah model seperti apa yang dibangun,saya menunggu keputusan pemeritah,” ucap bidan Alit yang sehari-hari mengabdi di Puskesmas Cugenang.
Musibah gempa tidak hanya menghancurkan rumah Alit, dia juga kehilangan adik ipar guru TK Insan Hasahan, Yanti Mandasari (42). Yanti ditemukan meninggal dalam kondisi memeluk putrinya Qinanti Rahayu (2). Suami Yanti, Agus Gunawan adalah adik kandung Alit.
Seperti warga lain, Alit ikut mengungsi ditenda penampungan di kampung Awilarangan. Kini rumah-rumah tersebut sudah diratakan. Warga untuk sementara tetap tinggal di tenda di halaman rumah.
Ibu tiga orang anak mengungsi kerumah keluarga di kota Cianjur. Sebagai bidan di desa itu sosok Alit terlihat sangat dekat dengan masyarakat. Sejak membuka praktik bersalin banyak warga yang telah dibantu.
”Sedih juga meninggalkan warga, sudah dua minggu saya mengungsi kerumah keluarga di Cianjur,” kata Alit. Alit merasa harus memperhatikan kesehatannya. ”Perlu kenyamanan, kesahatan juga,” jelasnya.
Setiap hari setelah pulang dari Puskesmas Alit tetap meluangkan waktu berkunjung ketenda-tenda pengungsi.
”Pulang dari Puskesmas, saya mampir posko berbuar dengan masyarakat. Saya tetap memberikan semangat, memberikan pelayanan di posko. Di posko ada tempat istirahat untuk saya,” katanya.
Alit baru pulang menjelang magrib. ”Pulang Magrib, dirumah hanya numpang tidur saja. Enggak tega meninggalkan warga, apalagi saya sudah lama di kampung itu, “ bebernya.
Antara tugas dan keluarga
Sebagai tenaga kesehatan sehari-hari Alit memang bertugas di puskesmas Cunangka, Alit menceritakan, sampai selesai makan siang aktivitas di puskesmas berjalan normal. Namun suasana berubah setelah gempa menguncang bumi Cianjur.
Tak lama setelah istihat tiba-tiba dia merasakan gedung lantai dua itu bergoyang. Petugas medis dan sejumlah pasian berlarian menuju halaman. Alit melihat banyak rumah dan sebuah gedung sekolah SMP ambruk. Bagitu menyadari gempa cukup kuat, petugas puskesmas pun bersiap-siap untuk membantu korban, ada yang menyiapkan kursi, meja.
Saat itu Alit teringat Oken Sutinah (70) ibu dirumah didampingi oleh si mbak. Berkali-kali ditelpon tak ada respon. Alit mulai gelisah, disatu sisi dia ingin pulang ingin memastikan kondisi ibundanya yang sepuh, disatu sisi warga desa mulai berdatangan minta pertolongan.
Kondisi mereka ada yang luka ringan ada luka berat. Yang luka berat dipisahkan, ditempatkan aman. Sedangkan luka ringan diminta untuk pulang. Hampir satu jam Alit tak mendapat kepastaian tentang ibunya. Dia ingin meminta izin pulang melihat orangtua, namun niat itu diurungkan karena begitu banyak warga desa jadi korban rmereka perlu perawatan.
Dia harus menekan perasaannya. Bersama teman-teman berusaha fokus kerja sambil terus berdoa ibunya selamat. ”Ini musibah, saya juga dapat musibah, disisi lain harus membantu masyarakat, mau nggak mau saya harus mengalah, “ ucapnya.
Dia percaya bencana itu sudah merupakan scenario dia Yang Maha Kuasa karena dia hanya bisa pasrah. Ketika sedang sibuk, putri bungsu nya yang sedang kuliah Cimahi mengabarkan, rumah sudah ambruk, neneknya selamat. Oken Sutinah terjebak dirumah. Baru bisa dikeluarkan dua jam kemudian oleh warga
Dari asisten rumah tangga Alit dapat kabar ibunya luka-luka ringan. Alit menghubungi keluarga yang lain, anak pertama di Bandung aman, putri kedua sebagai perawat di Sukabumi juga aman. Adiknya di Sukabumi, sehat. Dia kemudian menghubungi Agus Gunawan. Alit menanyakan bagaimana kondisi istri dan putrinya. Agus mengaku sedang menunggu informasi dengan teman-teman dilapangan.
Makin sore banyak warga berdatangan ke puskesmas. Halaman puskesmas tak sanggup menampung. Sejumlah polisi dan TNI sudah mulai berdatangan. Petugas kemudian mendirikan tenda-tenda darurat di lapangan sepakbola, dibelakang puskesmas.
Melihah wajah-wajah yang letih penuh duka, warga kehilangan tempat tinggal membuat hatinya miris. Banyak warga datang dengan tubuhn berlumurah darah. ”Ada ibu-ibu yang membawa bayi-nya yang sudah meninggal,” katanya.
Seketika pikirannya pada keluarga hilang. ”Di hadapan kami banyak orang butuh pertolongan, saya dengan rumah sudah ambruk mau bagaimana lagi, yang penting selamat,” ucap Alit.
Sebagai tenaga kesehatan masyarakat sedang membutuhkan tenaga mereka. Bagi Alit tak mudah menjalan semua itu. Namun selalu ingat bukan hanya keluarga yang menjadi korban ada ribuan keluarga yang mengalami hal yang sama.
Sambil bekerja dia berguman dalam hati bahwa semua itgu adalah titipan dari Yang Maha Kuasa. ” Saya harus membantu masyaraakat, mereka sangat membutuhkan kita,” katanya.