Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyelewengkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bisa diberhentikan dari jabatannya dengan tidak hormat.
“Itu sudah menjadi ketentuan dalam Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,” ujar Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah di Nusa Dua Bali, Senin (4/11/201).
Hal itu disamaikannya saat menjadi Keynote Speaker dalam “Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi dan Metode Melalui Dialektika Pembinaan Ideologi Pancasila untuk Masa Depan Bangsa Bagi Aparatur Sipil Negara”, yang diinisiasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), di Nusa Dua Bali. Di ikuti 200 ASN dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan seluruh Indonesia.
Ditegaskan Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini, kewajiban ASN adalah setia dan taat kepada Pancasila dan UUD NRI tahun 1945, menjadi perekat persatuan, mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia.
“Dengan demikian loyalitas tunggal ASN adalah kepada Negara dan Ideologi Pancasila. Bukan kepada negara dan apalagi kepada ideologi lain,” kata Ahmad Basarah yang juga dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) itu.
Dilanjutkan Basarah, bahwa upaya pemantapan mental dan ideologi aparatur negara demikian penting. Terlebih fenomena terkini menunjukkan adanya tren ketertarikan sebagian ASN dengan ideologi lain selain Pancasila.
Temuan berbagai lembaga survei kredibel menunjukkan hal tersebut. Misalnya temuan Survei Alvara tahun 2017, menunjukkan 19,4 persen ASN tidak setuju dengan Ideologi Pancasila dan lebih tertarik kepada Ideologi Khilafah.
Menurut data Kementerian PAN RB jumlah ASN per Juni 2019 mencapai 4,2 juta jiwa. Artinya kata Basarah, jika dikonversi 19,4 persen, maka sekitar 814 ribuan ASN yang terpapar dengan ideologi lain.
Terbaru adalah temuan Setara Institute yang menyebut jelas bahwa sejumlah ASN telah terpapar radikalisme/ekstrimisme. Paling mutakhir adalah kasus Bripda Nesti Ode Samili (Polisi Wanita) yang berdinas di Mapolda Maluku Utara, diberhentikan dari anggota Polisi karena telah terpapar radikalisme/ekstrimisme dari media sosial.
Khusus kepada ASN yang bertugas di lembaga pemasyarakatan, Basarah mengingatkan ada dua masalah serius. Pertama adalah persoalan narapidana teroris (Napiter) yang jumlahnya terus meningkat.
Berdasarkan data Kemenkumham per Desember tahun 2018 jumlah napiter mencapai 558 orang. Dari jumlah tersebut hanya 47 napiter yang telah menandatangani pernyataan setia kepada NKRI.
“Narapidana teroris ini memiliki kemampuan mengajak dan merekrut narapidana lainnya untuk mengikuti aliran ideologi mereka. Kejadian paling mencengangkan proses rekruitmen paham ekstrimisme dilakukan di Lapas terhadap napi lainnya,” terang Basarah.
Masalah kedua adalah persoalan narkoba. Berbagai kasus menunjukkan, narapidana narkoba yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) masih mampu mengendalikan jaringan narkobanya. Bahkan kepala Badan Nasional Narkotika (BNN) Komjen Pol Heru Winarko menyebut 90 pesen operator narkoba dikendalikan dari lapas.
“Jangan sampai lapas jadi sarang teroris dan narkoba. Karena itulah penguatan ideologi bagi ASN sangat tepat. ASN adalah ujung tombak negara dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publik secara langsung kepada masyarakat,” Demikian penjelasan Ahmad Basarah.