Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mendesak Menteri Hukum dan Ham Yassona Laoly untuk lebih menunjukan keseriusannya mewujudkan reformasi hukum, sesuai batasan-batasan yang ditetapkan konstitusi.
“Salah satunya adalah dengan membuka kembali pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan menyusun roadmap Reformasi Kebijakan Hukum Pidana dan Reformasi Kebijakan Sistem Peradilan Pidana,” ujar Anggara di Jakarta, Jum’at (25/10/209).
Dengan dilantiknya kembali Yasonna Laoly oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Hukum dan HAM periode 2019-2024, kata Anggara, maka ICJR mengingatkan Yasonna Laoly segera menunjukan keseriusannya dalam mewujudkan reformasi hukum sesuai batasan-batasan yang ditetapkan konstitusi
Terkait pembahasan RKUHP, menurut Anggara, pertama ICJR memandang masih banyak perumusan di RKUHP, baik di Buku I dan Buku II, yang tak sesuai prinsip perlindungan hak asasi manusia. Misalnya terkait pidana mati, perumusan tindak pidana atas perbuatan-perbuatan yang merupakan ranah privat, perumusan tindak pidana tanpa korban (victimless crimes) yang eksesif.
Selain itu, dirumuskannya kembali berbagai ketentuan yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi sebagai tindak pidana (termasuk makar, kejahatan terhadap ideologi negara, dan penghinaan presiden), dan berbagai perbuatan lain yang seharusnya dilindungi di negara yang demokratis.
“Perumusan tindak pidana tersebut mengancam hak asasi manusia dan kebebasan sipil warga masyarakat. Aliansi Nasional Reformasi KUHP sendiri mencatat masih ada 17 gugus isu persoalan dalam RKUHP yang perlu diperbincangkan ulang,” ujar Anggara.
ICJR juga memandang bahwa pembahasan RKUHP harus dilakukan secara terbuka serta melibatkan berbagai elemen publik, seperti akademisi dan ahli dari seluruh bidang ilmu terkait, seperti kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat, serta masyarakat sipil.
“Untuk itu, ICJR mendorong pemerintah membentuk Komite Ahli dengan keanggotaan yang luas untuk kembali membahas RKUHP,” pinta dia.
Kedua, ICJR meminta Menteri Yasonna segera menyusun roadmap (peta jalan) reformasi kebijakan pidana, yang mencakup, pertama Reformasi hukum pidana yang bertumpu pada perlindungan HAM, kebebasan sipil dan politik, humanis dan demokratis.
Kedua, Reformasi kebijakan sistem peradilan pidana yang yang akuntabel, terbuka, integratif, dan menjamin pemenuhan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban kejahatan.
Roadmap ini, lanjut Anggara, diharapkan dapat menjadi acuan dalam melakukan reformasi kebijakan pidana, termasuk antara lain pembentukan hukum pidana yang sesuai dengan jaminan perlindungan HAM dan kebebasan sipil berdasarkan prinsip dan jaminan HAM internasional.
Juga diharapkan menjadi acuan bagi penekanan kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan tindak pidana agar tidak lagi menekankan pada tujuan pemidanaan yang retributif dan berfokus pada pidana penjara.
Serta, mewujudkan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang mencerminkan keterpaduan antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, memberikan fokus lebih dan perlindungan terhadap korban kejahatan. Demikian Anggara Suwahyu.