Rifky Ahmad Yustisio
Cakraline.com. Yogyakarta – Memasuki penghujung tahun 2023, gemuruh kontestasi politik semakin menderu bak genderang perang yang bertabuh semakin keras. Seluruh Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) semakin raya dalam bergerilya untuk menggaet, bahkan mencuri suara. Kerap kali, cara dalam melakukan hal tersebut tidaklah suci. Maka dari itu, seharusnya Konstitusi dapat menjamin keberlangsungan kontestasi politik secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, juga secara damai.
Pada Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan atas pengajuan materiil Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan tersebut menambahkan frasa pada Pasal 169 huruf (q) sehingga berbunyi “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut, teridentifikasi mengandung konflik kepentingan. Hal ini, dikarenakan putusan tersebut membukakan jalan bagi keponakan Ketua MK, yang juga anak Presiden untuk dipilih menjadi Cawapres beberapa hari setelah putusan tersebut keluar. Atas peristiwa tersebut, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan untuk mencabut jabatan Ketua MK.
Putusan ini menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan, baik kalangan aktivis, akademisi, hingga politisi. Putusan ini menciptakan riuh di kalangan elit yang juga mempersiapkan kemenangannya untuk kontestasi politik 2024. Pasca keluarnya Putusan MK № 90/PUU-XXI/2023, Ketua Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) melabeli Presiden RI ke-7, yang juga adalah kader partainya, sebagai Presiden yang berkuasa layaknya Orde Baru. Hal tersebut adalah karena adanya tendensi untuk melanggengkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Pernyataan Ketua PDI-P tersebut di kemudian waktu menciptakan polemik. Banyak yang menilai bahwa pernyataan tersebut adalah bentuk dari sakit hati karena pengkhianatan yang terjadi kepadanya.
Namun, seorang politisi sekaligus kader PDI-P mengatakan bahwa pernyataan tersebut adalah bentuk pernyataan sikap dari Ketua Partainya yang merupakan sosok yang terlibat dalam meruntuhkan rezim Orde Baru. Namun, karena PDI-P mengusung Pasangan Calon (Paslon) Capres dan Cawapres dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pernyataan ketua PDI-P tersebut menimbulkan asumsi di masyarakat terkait adanya ketegangan antara Presiden RI ke-7 dengan Ketua PDI-P.
Baik pernyataan tersebut adalah bentuk sakit hati atau bukan, hal-hal demikian adalah hal-hal yang sah dan lazim dilakukan dalam berpolitik. Kendatipun demikian, hal tersebut tetaplah menimbulkan polemik di masyarakat terkait dengan panasnya kontestasi politik ini. Tentu, polemik tersebut bukanlah suatu hal yang baik apabila menciptakan polarisasi di masyarakat. Atas hal tersebut, semestinya amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 terkait dengan kedamaian penyelenggaraan demokrasi, layak dipertimbangkan.
UUD NRI tahun 1945 mengatur bahwa semua Warga Negara Indonesia memiliki kesamaan hak dalam hal keterlibatannya dalam pemerintahan. Namun, ketentuan tersebut kerap digunakan sebagai perisai dari tuduhan praktik politik dinasti. Selanjutnya, para pelaku politik dinasti dan pendukungnya membebankan keberlangsungan politik yang berkeadilan kepada para pemilih untuk cerdas menentukan pilihan. Padahal, pengetahuan politik di masyarakat belum cukup dewasa untuk dapat menilai baik atau buruknya seorang politisi Oleh karena itu, konstitusi yang memiliki nilai keluhuran dan sakral, seharusnya tidak mudah dijadikan sebagai alat politik. Kerap kali konstitusi diberlakukan dengan sistem tebang pilih. Hanya diakui dan diagungkan sebagai konstitusi manakala peraturannya menguntungkan golongan tertentu.
Konstitusi seyogyanya menjadi jaring pengaman bagi WNI untuk tidak termanipulasi oleh politik yang mengatasnamakan hak konstitusi. Alangkah baiknya apabila konstitusi mengakomodasi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan politik yang mumpuni, untuk mendapatkan akses yang mudah atas rekam jejak seorang politisi, dan untuk mendapatkan jaminan diversitas gagasan dalam pilihannya. Sehingga, masyarakat tidak lagi mudah diperalat oleh politik yang berlindung dengan dalih konstitusional dan dapat berdemokrasi dengan damai.
Bahwa benar konstitusi menjamin hak setiap Warga Negara Indonesia (WNI) untuk memilih pemimpin dan dipilih sebagai pemimpin, janganlah membuat kita memaklumi dan membenarkan Putusan MK NO. 90/PUU-XXI/2023 yang sarat akan kepentingan. Dengan demikian, kita sebagai WNI, haruslah cerdas untuk menentukan pilihan kita dalam Pemilu Presiden di tahun 2024 nanti. Sudah seharusnya kita waspada agar tidak terhanyut dalam konstelasi politik yang panas.
Rifky Ahmad Yustisio, Kepala Departemen Aksi dan Propaganda Dewan Mahasiswa (DEMA) Justicia Fakultas Hukum UGM