Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Hukum Pidana yang cenderung tertutup menjelang pengesahan. Termasuk dalam perubahan substansi dan penambahan rumusan sejumlah pasal yang sebelumnya sudah relatif baik,
“Perubahan substansi dan penambahan rumusan yang terjadi, justeru menjadikan rumusan pasal-pasal yang sudah relatif baik menjadi multi tafsir dan menjauh dari prinsip-prinsip Konstitusi dan HAM,” ujar salah serang Komisioner Komnas Perempuan, Azriana dalam keterangan persnya yang diterima Cakraline.com.
Pertama, sejumlah pasal dalam RUU KUHP apabila diimplementasikan akan menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan, dalam hal ini anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dan sebagainya.
Pasal dimaksud adalah, Pasal 2 ayat (1) dan (2) tentang Hukum yang Hidup di Masyarakat. Tidak ada batasan yang jelas tentang keberagaman hukum yang masih hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Bila pasal ini diberlakukan akan menghilangkan kepastian hukum sebagai prinsip utama hukum pidana, dan melanggar asas legalitas.
Selain itu, akan meningkatkan potensi kesewenangan, menyuburkan overkriminalisasi bagi kelompok rentan, dan menjadi pembenar diproduksinya kebijakan daerah yang diskriminatif.
Kehadiran pasal ini juga akan memperburuk praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini yang sudah berlangsung di masyarakat.
Pasal 412 tentang Kesusilaan di Muka Umum. Penjelasan frasa “di muka umum” dalam pasal ini berpotensi melindungi pihak-pihak yang memiliki privilege untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan, namun merentankan kelompok miskin karena tempat tinggal dan lokus mobilitasnya yang mudah dilihat, didatangi oleh pihak-pihak lain.
Pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan. Ini berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi masyarakat, serta program keluarga berencana. Berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV/AIDS.
Pasal 419 tentang Hidup Bersama. Kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri yang dalam draft sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak. Namun dalam draft terbaru ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”.
Perubahan ini akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini. Pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan, akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.
Rumusan pasal ini diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah). Padahal fakta di masyarakat laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Karena asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan.
Melengkapi catatan keberatan dan mencegah overkriminalisasi terhadap perempuan, maka kelompok masyarakat sipil dan Komnas HAM, meminta kepada Presiden dan DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP dan mengadakan penelitian lebih komprehensif pada setiap pasal yang berpotensi mengkriminalkan perempuan, kelompok rentan dan mengebiri demokrasi.