Gerakan Mahasiswa “menggempur” DPR periode 2014-2019 untuk tidak mensahkan atau mendunda RUU petanahan patut diapresiasi, karena telah menyelamatkan rakyat dan negara dari bahaya dan kerugian yang sangat besar.
Apa bahaya dan kerugian itu? Berikut pendapat Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Dr Ir H Gusti Hardiansyah. Artikel ini diturunkan kembali karena dinilai masih relevan dengan pendundaan pengesahan RUU Pertanahan.
Menurut Gusti Herdiansyah, RUU Pertanahan yang tengah dibahas di DPR itu bertentangan dengan sila ke 5 Pancasila, karena akan semakin mengurangi luas hutan, dan kuat mengakomodasi kepentingan pebisnis dan investasi dalam perkebunan skala besar.
Artinya, jika RUU tersebut disahkan menjadi UU, maka akan terjadi monopoli swasta atas tanah, perampasan tanah rakyat dan atau negara, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar yang banyak diatur dalam RUU Pertanahan ini.
“Keberadaan Kawasan hutan yang tertuang pada pasal 15, menjadi titik masuk dari proses pembenaran/pemutihan atas usaha perkebunan dan lainnya yang masuk ke dalam kawasan hutan, yang pada akhirnya berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan,” ujar Gusti.
Dikatakannya, RUU pertanahan mengandung banyak inkonsistensi dan kontradiksi. Menabrak UU Pemda, Perseroan, Lingkungan Hidup, Kehutanan, UU Pesisir dan juga aturan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat serta UU terkait Pidana.
Karena itu lanjut Gusti, RUU ini menjadi penghambat iklim usaha dan investasi. Ada empat pasal terkait kawasan hutan pada rancangan beleid tersebut. Salah satunya pasal 23 yang menetapkan kawasan hutan termasuk bagian dari kawasan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
“Areal tata ruang pada pasal tersebut seharusnya hanya membahas lahan yang berada di luar kawasan hutan. Pengelolaan kawasan hutan sudah diatur UU Nomor 41/1999. Sebagai kesatuan ekosistem, hutan memiliki berbagai fungsi sumber daya alam lainnya,” papar Gusti
Dijelaskan lagi, Pasal 63 dan pasal 66 yang intinya menyatakan bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi semua bidang tanah dan kawasan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, apabila berpatokan pada UU Kehutanan, kawasan hutan bukan merupakan objek pendaftaran tanah.
Kemudian di Pasal 64 RUU mewajibkan pihak terkait melakukan pemetaan kembali pada lahan konsesi, yang sebenarnya penataan batas dan wilayah konsesi kehutanan sudah dilakukan serta diintegrasikan melalui kebijakan satu peta (one map policy).
Karena itu Gusti Hardiansyah meminta kepada DPR dan pemerintyah saat ini tidak mensahkan RUU ini. Demi kemaslahatan Masyarakat dan Indonesia Adil Makmur, sebaiknya RUU ini disosialisasikan kepada segenap “stake holder” secara transparan, partisipatif dan akuntable.
Pemerintah dan DPR kata Gusti, agar melanjutkan pembahasan RUU Pertanahan ini ke periode DPR RI berikutnya 2019-2024, agar memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan masukan secara komprehensif.