KEMENTERIAN Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merancang penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs) di ibukota baru Kalimantan Timur (Kaltim). Untuk itu KLHK membangun jejaring kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri, termasuk Griffith University, Australia.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Agus Justianto menuturkan, KLHK memperbarui kerjasama yang telah diinisiasi sejak tahun 2002 dengan Griffith University, Australia. Dari kerja sama yang telah berjalan, terbentuk Centre of Excellence for Sustainable Development for Indonesia (CESDI).
Dalam kerja sama antara KLHK dan University Griffith, salah satu topik utama yang diusung melalui CESDI adalah penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs), rendah karbon (low carbon development initiatives) dan berketahanaan iklim (climate resilience) di ibukota baru Indonesia di Kalimantan Timur.
“Melalui kerja sama ini CESDI dapat menjadikan ibukota baru di Kaltim sebagai laboratorium pembanguan berkelanjutan di tingkat tapak,” kata Agus usai penandatangan nota kesepahaman pembaruan kerja sama antara KLHK dengan Griffith University di Brisbane, Australia, Kamis (10/10) sore waktu setempat.
Penandatangan nota kesepahaman dilakukan oleh Agus Justianto dan Wakil President Griffith University Profesor Sarah Todd.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo, pada 26 Agutus 2019 lalu, sudah mengumumkan pemindahan ibukota Indonesia ke Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara, Kaltim. Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), nantinya kawasan ibukota negara akan menempati lahan seluas 180.965 hektare.
Australia sendiri punya pengalaman bagus karena berhasil memindahkan ibukota ke Canberra. Kota ini dikenal sebagai “the bush capital” karena dikelilingi hutan dan berada di pedalaman. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam beberapa kesempatan menyatakan Canberra salah satu rujukan soal pemindahan ibukota.
Etalase Peradaban
Agus menuturkan, ibukota baru ini diharapkan dapat menjadi etalase peradaban baru yang ramah lingkungan. Tata nilai (values), pengetahuan, teknologi dan kelembagaan yang sesuai dengan peradaban baru metropolis tersebut, menjadi persyaratan penting yang harus dibangun dan dikembangkan.
Agus menyatakan, ibukota baru akan menerapkan konsep forest city yang didukung dengan berbagai bentuk infrastruktur hijau berupa kawasan hutan hujan tropis, kawasan konservasi perairan peisisir dan laut serta ruang terbuka hijau lainnya beserta sumber daya alam hayati yang ada di dalamnya.
“Vegetasi asli hutan hujan tropis menjadi backbone pengembangan Forest City. Vegetasi asli juga digunakan untuk kegiatan pemulihan lahan-lahan yang telah mengalami kerusakan lingkungan akibat pertambangan,” katanya.
Agus menuturkan, Ibukota baru juga akan dirancang untuk memanfaatkan energi baru dan terbarukan yang rendah emisi karbon seperti panel surya, gas atau PLTA. Gedung yang dibangun pun akan didesain secara hijau dengan menerapkan sistem manajemen untuk memaafaatkan air secara berulang serta pencahayaan yang lebih efisien.
Sementara untuk pergerakan penduduk, transportasi publik yang rendah emisi karbon akan dioptimalkan. Jalur sepeda dan pedestrian juga akan terintegrasi sehingga mendukung penduduknya untuk meninggalkan penggunaan kendaran bermotor pribadi.