Pemindahan Ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur masih membuthkan kajian mendalam, termasuk mendengarkan pendapat dari pihak luar. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), belum lama ini menyelenggarakan Forum Focus Grup Discussion (FGD) tentang Kajian Lingkungan Hudup Strategis (KLHS) pemindahan itu.
SUASANA FGD tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Rabu (18/9/2019)
Irspektur Jenderal KLHK Laksmi Wijayanti mengungkapkan, dalam proses pemindahan Ibukota ini, kita harus melihat bagaimana posisi Kalimantan Timur dalam konteks Indonesia secara keseluruhan, bagaiaman dispraitas terhadap provoinsi lainnya sehingga kita bisa menganalisasi berbagai hal yang ditumbulkan dengan valid.
“Visi kita, semua pembangunan dan persiapan ibukota harus “green” dan juga membangun kebiasaan dan budaya jalan kaki lebih dipraktekkan,” katanya.
Untuk itu lanjut dia, KLHK akan terus melakukan FGD dengan para ahli, dan akan lebih fokus agar daya dukung lingkungan makin memadai. ”Kita harus mendapatkan banyak informasi, seperti kekhawatiran hutan Kalimantan akan rusak, ketersediaan air bersih danreaksi dunia luar bahwahutan Kalimantan yang bisa rusak,” ujar dia.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat memimpin tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Jakarta, Rabu (18/9/2019) . Didampingi Irspektur Jenderal KLHK Laksmi Wijayanti dan Pegiat Pemberdayaan Ekonomi Suku-Suku Asli dan Masyarakat Termarjinalkan Judith J Dipodiputro
Terkait hal itu, Laksmi Wijayanti menegaskan bahwa perlu sosialisasi secara terus menerus, terutama menjelaskan bagaimana tata ruang dan infrastruktur di sana.
Sementara pegiat pemberdayaan ekonomi suku-suku asli dan masyarakat termarjinalkan Judith J Dipodiputro mengatakan sangat menghargai undangan Menteri LHK Siti Nurbaya pada 100 eksekutif dari berbagai sektor. Baik yang bertugas di tingkat nasional, maupun daerah. Termasuk juga beberapa yang bertugas di luar negeri
“Kehadiran saya pibadi, para ahli dan para eksekutif dari berbagai sector akan menghasilkan banyak masukkan dari FGD ini,” ujar Judith yang juga pemerhati masalah lingkungan hidup dan konservasi alam itu.
Menurut Judith, Kalimantan Timur telah porak-poranda akibat pertambangan. Ini berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat dan kemiskinan. Rencana akan menjadikan Ibukota baru sebagai Rainforest City, itu komitmen yang luar biasa. “Itu artinya akan terjadi reklamasi atau pembenahan bekas-bekas tambang dan reforestasi,” papar Judith.
Upaya menjadikan ranfores city yang belum terungkap ke publik itu lanjut dia, wajib di sosialisasikan. “Ini komitmen yang luar biasa dari pemerintah terhadap restorasi dan konservasi alam,” ujar dia.
Komunikasi ini juga perlu dilakukan secara aktif ke dunia internasional melalui perwakilan-perwakilan kita di manca negara. Pasalnya, ada salah persepsi dikalangan dunia, yaitu pembangunan Ibukota baru akan membabat hutan. Dan, itu bermakna hutan Kaliman akan berkurang dan rusak. Padahal tidak demikian. Kita akan merestorasi bekas tambang dan melakukan reforestasi.
“Yang amat menarik dan menjadi pencerahan dari FGD ini adalah adanya beberapa peserta yang mewakili aspirasi suku asli, antara lain Ibu Rosaline Rumaseuw dari dari propinsi Papua dan Ibu Imas Shidiq dari suku betawi. Mereka menyarankan, pemerintahperlu membentuk tim khusus dan fokus pada penyertaan suku-suku asli, agar kehadiran ibukota baru dapat memberikan pertumbuhan yang baik,” ujar Judith.
Dikatakan dia, dalam pemindahan ibukta baru itu, ada tantangan yaitu, menumbukan konsep dan pola hidup abad 21 bagi masayarakat setempat yang secara sadar masih memilih untuk tidak berkehidupan dalam peradaban abad 21.
“Mereka memilih untuk berkehidupan peradaban yang lebih sederhana, mungkin peradaban 100-200 tahun lalu. Dalam konsep keadilan sosial, Pemerintah harus siap mengakomodasi permintaan suku-suku asli untuk memilih kehidupan yang mereka pahami dan inginkan,” paparnya. (kh)