Cakraline.com. Jakarta-Meski telah mencantumkan Ivermectin dalam panduan, namun WHO belum merekomendasikan sebagai obat Covid-19. Ivermectin baru tercantum dalam guidelines dengan Batasan hanya digunakan untuk uji klinik semata.
Uji klinik ini nantinya akan memastikan adanya evidence base atau bukti akan keamanan dan khasiat penggunaannya.
“Kami sangat tidak menganjurkan pembelian obat secara bebas apalagi melalui online, karena Ivermectin adalah golongan obat keras. Beredar informasi bahwa obat ini bisa digunakan untuk pencegahan, untuk pengobatan saja belum direkomendasikan, apalagi untuk pencegahan, karena adanya efek samping yang masih perlu ditelaah lebih dalam mengenai keamanan penggunaan obatnya. Profil obat tersebut sebagai obat cacing atau obat anti parasit yang sesuai ijin edar, dinyatakan obat tersebut indikasinya digunakan hanya satu tahun sekali, kalau digunakan untuk pencegahan berarti penggunaannya rutin dalam jangka panjang, ini tentu memerlukan perhatian khusus dan pembuktian lebih jauh,”ungkap Keri Lestari dalam jumpa pers yang digelar secara daring oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), belum lama ini.
Saat ini, lanjut Keri, PP IAI juga sedang melakukan uji klinik obat herbal terkait dengan pemulihan ekonomi bidang farmasi. Ia berharap obat herbal yang mendapatkan dukungan untuk uji kliniknya tersebut, akan memberikan satu bukti untuk efektifitas obat covid dan Indonesia bisa mandiri mengatasi covid-19 menggunakan obat berbahan baku alami Indonesia. Bahan obat herbal yang sedang dilakukan uji klinik adalah Soman, OB Herbal serta Imugard.
Karena itu Ikatan Apoteker Indonesia menyerukan agar masyarakat Indonesia sangat berhati-hati dalam menyikapi informasi yang beredar seputar Ivermectin, obat anti parasit, yang diklaim sebagai mampu mengatasi Covid-19.
Masyarakat diharapkan tidak melakukan self treatment di masa pandemic ini, melainkan berkonsultasi dengan dokter untuk diagnosa penyakitnya dan mengkonsultasikan obat-obatan dengan apoteker.
”Ivermectin memang sudah memiliki ijin edar dari BPOM sebagai obat anti parsit atau obat cacing, tetapi memang penelitian secara in vitro diketahui berpotensi untuk obat Covid-19. Penelitian secara in vitro, artinya baru penelitian dalam skala laboratorium, masih sangat awal dan membutuhkan uji klinik untuk memastikan. Yang pasti, Ivermectin adalah golongan obat keras yang harus didapatkan dengan resep dokter. Karena itu kami menghimbau agar sejawat apoteker di apotek dalam melayani Ivermectin dipastikan ada resep dokter,” unpkap Apt Drs Nurul Falah Eddy Pariang didamping oleh sejumlah Dewan Pakar PP IAI serta Komite Penanganan Covid-19 dan Pemiluhan Ekonomi Bidang Farmasi, menyampaikan keprihatinan mengenai maraknya penggunaan Ivermectin secara bebas beberapa waktu terakhir.
Dalam acara tersebut hadir para guru besar di bidang farmakologi, analisis farmasi serta farmasetika mengupas Ivermectin dari berbagai aspek.
Dewan Pakar PP IAI, Prof Dr apt Yahdiana Harahap dalam pemaparannya menyampaikan adanya beberapa studi literatur dan studi awal in vitro yang dilakukan di Australia mengenai khasiat Ivermectin sebagai anti virus. Dalam penelitian in vitro, yakni dalam skala laboratorium, ditemukan Ivermectin mampu menghambat replikasi dari SarsCov-2, namun hal ini tidak bisa langsung ditranslasikan dengan kajian klinis
‘”Sebelum sampai pada uji klinis, masih dibutuhkan sejumlah studi lanjutan setelah uji in vitro dilakukan, terutama adalah penyesuaian dosis dari dosis sebagai anti parasit menjadi dosis anti virus,” tuturnya.
Dalam beberapa literatur ditemukan penghitungan IC 50 bagi Ivermectin, yaitu 5 mikromolar. IC 50 adalah kadar obat dalam darah, sehingga obat tersebut mampu membunuh 50 persen virus dalam tubuh. Studi in vitro yang dilakukan oleh peneliti Australia juga menggunakan kadar 5 mikromolar.
Setelah uji in vitro tersebut, kemudian dilanjutkan dengan studi in vivo. Sebagai informasi, dosis anti parasite yang diijinkan adalah 200 – 400 mikrogram/kg BB, sementara dosis yang ada di pasaran adalah 12 mg. Pada uji in vivo digunakan dosis sebesar 8,5 kali dosis obat yang beredar di pasaran, dan ternyata kadar obat yang ditemukan dalam darah hanya 0,28 mikromolar.
”Jadi saya ingin mengatakan, kalau kita ingin mengkorelasikan obat cacing ke anti virus, maka yang perlu diperhatikan adalah dosisnya. Berapa dosis yang harus diberikan, agar mampu membunuh virus dalam tubuh kita. Kalau dalam studi in vitro ditemukan kadar 5 mikromolar yang mampu membunuh virus, sementara dengan dosis 8,5 kali dari dosis obat yang ada di pasaran saat ini hanya mampu menghasilkan 0,28 mikromolar, artinya, apabila akan dilakukan uji klinis, maka dosis yang digunakan seharusnya adalah 250 kali lipat. Itu baru dari sisi hitungan kadar, sementara masih perlu kita pertimbangkan mengenai karakter lain dari obat ini,” tutur Yahdiana.
Sementara, kajian lain dari farmakokinetiknya, bioavailabilitas ivermectin ini sangat buruk, absorbsinya tidak bagus, didalam tubuh dia terikat dengan protein sebesar 93 persen. Artinya kalau ingin membunuh virus maka dibutuhkan dosis yang sangat besar, karena kadar dalam darah yang sangat kecil, diperburuk dengan karakternya yang terikat oleh protein, sehingga tidak cukup konsentrasinya untuk membunuh virus dalam tubuh manusia.
”Bila dalam kajian in vitro, di luar tubuh, maka ditemukan dengan kadar 5 mikromolar mampu membunuh virus, namun dalam tubuh, ada proses, bagaimana obat tersebut bergerak, sehingga mampu mencapai reseptor. Sementara, karena ivermectin didesain sebagai obat cacing, maka obat tersebut tidak didesain agar masuk ke dalam darah dalam jumlah besar. Sedangkan obat apabila menuju reseptor dia harus tersedia di dalam darah dalam jumlah yang cukup dan nantinya menuju reseptor ACE yang mungkin ada di saluran nafas dan lain-lain. Artinya sekali lagi kalau akan dilakukan uji klinis harus dilakukan adjustment dosis supaya bisa membunuh virusnya dengan optimal,’’ tandasnya
Yahdiana menyampaikan jurnal terbaru yang terbit pada 28 Juni dari Oxford Academy, yaitu Clinical Infectious Disease. Dalam tulisan tersebut, dilakukan studi pemberian ivermectin dan placebo pada pasien, ternyata hasilnya tidak ada perbedaan yang signifikan.
”Placebo adalah obat kosong, tidak ada bahan aktif obat didalamnya. Dari studi itu disimpulkan ivermectin tidak memberikan efek sebagai anti virus covid-19. Kemudain kajian lain dari American Medicine Association di AS dilakukan studi terhadap 476 pasien dengan gejala ringan, ternyata juga tidak memberikan efek. Ini adalah kajian secara ilmiah, karena kalau kita ingin melakukan pengembangan obat, tentu harus ada bukti yang mengawali yaitu uji in vitro, kalau oke lalu uji pre klinik berlanjur ke uji fase 1,2,3. Namun sebelum sampai kesana harus dilakukan kajian farmakokinetik untuk menentukan dosis yang tepat,” ujar Yahdiana.