Kongres Pemuda di tahun 1926 dan 1928 menjadi bukti otentik, bahwa segenap pemuda-pemudi sepakat menanggalkan identitas kedaerahan (etnonasionalisme) dan melebur ke dalam identitas tunggal ke-Indonesia-an.
Demikian ditegaskan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDI Perjuangan) di Jakarta, Senin (28/10/2019) dalam rangka memperingati 91 tahun Sumpah Pemuda hari ini, Senin. 28 Oktober 2019.
Basarah menjelaskan, pelajaran penting yang bisa kita teladani dari Sumpah Pemuda adalah spirit persatuan nasional. Karena itulah tidak mengherankan, jika dalam Kongres Pemuda II begitu kental dengan simbol-simbol persatuan.
Sebagai contoh, kata dia mengapa saat itu tidak Bahasa Jawa yang dipilih sebagai Bahasa Persatuan? Bahasa Jawa dianggap memiliki stratifikasi sosial yang ketat dan berkebudayaan tinggi, padahal bangsa yang hendak diwujudkan adalah bangsa egaliter.
Menurut Basarah, jika Bahasa Jawa yang dipilih atau ditetapkan sebagai bahasa persatuan Indonesia, maka kesan yang muncul akan lebih mengukuhkan posisi dominan orang Jawa, dan berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa. Demi Persatuan Nasional maka dipilihlah Bahasa Melayu, kata dia.
“Bahasa Melayu adalah Lingua Franca (bahasa perhubungan) yang menjembatani pergaulan antar suku dan perdagangan serta antar wilayah. Bahasa Melayu terbuka dan demokratis, sehingga terpilih sebagai Bahasa Persatuan,” jelas dosen tetap Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma) tersebut.
Dijelaskan Basarah, pelajaran penting lain yang bisa dipetik dari momentum Sumpah Pemuda adalah soal peran dan partisipasi peranakan Tionghoa dan keturunan Arab. Tempat yang digunakan sebagai lokasi deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah di jalan Kramat Raya Nomor 106 (kini Museum Sumpah Pemuda), adalah rumah milik peranakan Tionghoa Sie Kong Liong.
Kemudian empat orang pemuda peranakan Tionghoa juga hadir dalam Kongres Pemuda II. Mereka adalah Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Selanjutnya Surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po adalah surat kabar yang pertama kali memuat Lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman, dimuat pada edisi mingguan No. 293 tanggal 10 November 1928.
Sejarah juga mencatat peran AR Baswedan dalam menggelorakan semangat Sumpah Pemuda di kalangan peranakan Arab. AR Baswedan menjadi motor penggerak Sumpah Pemuda keturunan Arab yang dilaksanakan di Semarang pada 4 Oktober 1934. Ada tiga pernyataan sumpah pemuda Keturunan Arab: Pertama, Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia. Kedua, Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri), dan Ketiga, Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
“Inilah pesan kebangsaan penting yang bisa kita teladani. Bahwa sejak awal fondasi bangsa Indonesia adalah keberagaman. Puspa ragam kemajemukan tersebut, tidak hanya sebagai modal utama bangsa Indonesia, melainkan sebagai warisan dari generasi terdahulu. Karena itulah sudah menjadi kewajiban bagi generasi penerus untuk menjaga dan merawatnya,” terang Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI itu.
Di sisi lain, Basarah juga menyoroti dinamika kehidupan pemuda di era milenial. Menurut dia, ada banyak perbedaan mencolok antara pemuda dahulu dengan pemuda kekinian. Sumpah Pemuda sepakat menyatukan perbedaan dengan memperkuat identitas nasional, sedangkan pemuda di era kekinian justru sibuk memperdebatkan perbedaan.
Dulu Pemuda menghasilkan Sumpah Pemuda. Namun kini, sebagian pemuda mendeklarasikan Sumpah Khilafah. Sumpah Pemuda sepakat menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa dan simbol persatuan, namun pemuda di era milenial justru mencampuradukan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Asing.
“Sebagai bangsa Indonesia kita wajib bangga terhadap Bahasa Indonesia. Terlebih Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres tersebut tidak hanya sebagai upaya meneguhkan identitas kebangsaan, melainkan sebagai upaya memperkokoh karakter bangsa,” demikian penjelasan Basarah.