Cakraline.com. Islam telah mengatur kesetaraan gender, jauh sebelum dituntut Dunia Barat. Kesetaraan gender yang diatur ajaran Islam adalah kesamaan hak dan kewajiban antara laki laki dan wanita dengan ketentuan ketentuan yang sangat adil berdasarkan Sunatullah.
Demikian ditegaskan Ketua III MUI Kota Tangerang Dra Hj Jundah Ibrahim MA dalam Diskusi Gender bertema “Paran Gender Menuju Keluarga Samawa” yang diselenggarakan Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga MUI Kota Tangerang di Kantor MUI Kota Tangerang, Rabu (22/12/2021).
Sebagai pembicara tunggal dalam diskusi itu adalah Ustadzah Dra Hj Jundah Ibrahim MA, di dampingi Ustadzah Umi Yusro, Ustadzah Suryati Uwes, Ustadz Zaki Mubarok, Ustadz
Zulman Firmasyah dan Ustadz Fatih dengan dihadiri 13 Kecamatan Komisi Perempuan MUI Kota Tangerang.
Dijelaskan Ustazah Jundah, dalam berbagai aspek kehidupan, Islam selalu mendasarkan perkara kepada aspek keadilan dan aspek ridha/keikhlasan. Karena kedua aspek tersebut berkontrubisi kepada kedamaian, kebahagiaan dan ketenteraman, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Itu semua, ujar Ustadzah Jundah, sudah diatur Islam dalam kesetaraan gender. Betapa indah dan sempurnanya konsep Islam dalam mengatur kesamaan hak dan kewajiban manusia (gender). Hanya saja, lanjut dia, konsep gender itu dalam Islam belum sepenuhnya dijalankan oleh penganutnya karena keterbatasan pemahaman tentang Islam.
“Oleh karena itu Allah berfirman dalam Alqur’an ‘udkhulu fissilmi kaffah. Artinya, masuklah kalian kedalam sistem Islam (kedamaian) secara penuh/total supaya kalian faham, fissilmi kaffah. Artinya, masuklah kalian kedalam sistem Islam (kedamaian) secara penuh/total supaya kalian faham,” ujar Ustadzah Jundah yang juga sebagai Pembinaan Lembaga Pengembangan Tillawatil Qur’an (LPTQ) Kota Tangerang dan Provinsi Banten tu.
Lalu, apa sesungguhnya kesetaraan gender itu dalam Islam? Adalah keadilan dan kesamaan hak antara laki laki dan perempuan. Harus diperlakukan sama dalam satu hal tertentu. Tidak dalam semua hal. Karena, ada hal hal yang bisa dilakukan perempuan dan ada hal hal yang tidak bisa dikerjakan oleh lelaki, sekalipun kodrat laki laki itu perkasa.
Seperti halnya hamil dan melahirkan yang merupakan sebuah perjuangan yang maha berat, yang tidak bisa dilakukan laki laki. Dalam hal ini, hak dan kewajiban perempuan harus dipenuhi oleh suami, oleh perusahaan tempat dia bekerja dan bahkan juga oleh negara sekalipun.
Sedangkan kesamaan gender dalam pengertian umum yang dideklarasikan PBB adalah pandangan semua orang harus menerima perlakuan yang sama dan tidak ada diskriminasi berdasarkan indentitas kodrati dalam menciptakan kesetaraan di bidang sosial, pendidikan, pekerjaan, hukum dan politik.
Peran gender dan keluarga Sakinah.
Ketua Umum Forum Komunikasi Ustadzah (FKU) Kota Tangerang itu juga menegaskan, bahwa perempuan dalam Islam juga memiliki hak dalam kepemimpinan dan itu terjadi di masa awal datangnya Islam sebagai agama samawi, yaitu ketika Siti Aisyah menjadi panglima perang di Perang Jamal. Realita itu menujukkan bahwa Islam menjunjung tinggi keadilan, persamaan hak dan kewajiban, karena laki laki dan perempuan sama di mata Tuhan. Kecuali dalam hal hal tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh laki laki.
Oleh karena itu dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah (Samawa) peran gender ini sangat menentukan, di mana wanita bisa menjadi kepala keluarga apabila suami tidak memiliki kemampuan untuk itu, seperti halnya suami tidak memiliki leadership, tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan lain lain. Namun, dalam Islam wanita seperti itu tetap wajib menghormati suami sebagai kepala keluarga.
“Dalam hal ini, yang menjadi pembeda antara wanita dan lelaki terletak pada pengabdian dan ketaqwaan, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13. Surat ini menyiratkan bahwa, semua yang dilakukan perempuan dalam rumah tangga bernilai sadaqah, pengabdian dan ketaqwaan kepada Allah Maha Pencipta. Jadi sehebat apapun perempuan tetap harus menghormati suami sebagai imam dalam rumah tangga, ” tegas Ustadzah JundahJundah yang juga Dosen Fakultas Da’wah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Maka dalam Islam Perempuan dibagi menjadi tiga tingkatan. Yaitu, pertama An Nisa, kedua, Al Ummu dan ketiga Al Mar’ah.
An Nisa adalah wanita biasa yang kebanyakan, yang hanya berperan untuk kepentingan dirinya sendiri. Sedangkan Al Ummu adalah wanita yang diberi Allah tanggungjawab sebagai ibu yang melahirkan anaknya, diberi tanggungjawab menyusui, mengasuh dan mendidik anak anaknya untuk memiliki ilmu, berakhlakul karimah dan menjadi manusia manusia berguna.
Terakhir Al Mar’ah. Yaitu wanita ideal, wanita sempurna yang mampu mengemban tugas dan tanggujawab untuk dirinya sendiri, suami dan anak anaknya (keluarga), untuk orang banyak (agama, bangsa dan negara). Begitulah Islam menempatkan wanita di tempat yang terhormat dan tempat yang mulia. Pada posisi ini, wanita sudah berada pada tahapan mencapai Samawa.
Namun, itu masih belum sempurna. Kecuali itu, bila berhasil mengondisikan tiga hal, yaitu obligation, notification dan freedom. Yang dimaksud dengan kontek obligation adalah bahwa suami isteri harus mengedepankan aspek musyawarah dalam perkara rumahtangga. Dalam hal ini, keduanya harus menanggalkan konsep kepemimpinan (ego).
Sedangkan yang dimaksud dengan nitification adalah suami isteri hatus saling menginformasikan seluruh keadaan atau perkara dalam rumahtangga tanpa harus ditutup-tutupi. Harus ada keterbukaan. Dan, terakhir freedom, masing masing harus memiliki hak mengambil keputusan dalam keadaan emergency. Jika pendapat isteri memiliki kebaikan (manfaat) yang lebih besar harus diterima suami. Begitu sebaliknya.
“Jadi, jika ada pertanyaan siapa yang paling berhak menjadi kepala keluarga? Maka jawabnya siapa yang paling mampu. Bisa suami dan bisa juga isteri, ” Pungkas Ustadzah Jundah Ibrahim MA. (kh)