Muhammad Iqbal Ramadhan
Cakraline.com. Jakarta – Mengapa media harus menyoroti nama orang tua saya? lantas apakah mereka yg turut berjuang tidak layak dihargai hanya karena mereka bukan anak dari seorang pejabat atau artis?
Apakah suara mereka yang mengalami kekerasan tidak pantas didengar, sama seperti pengalaman saya?
Memang benar ayah saya seorang Jendral TNI & Pejabat tinggi pada era Orde Baru. Namun, saya terlahir dari rahim seorang perempuan, seorang ibu yang penuh dengan perjuangan. Ibu saya harus bekerja keras mencari nafkah dan merawat saya, tanpa kehadiran sosok ayah.
Saya tidak pernah menggunakan nama besar almarhum ayah saya untuk kepentingan pribadi. Saya menjaga rapat latar belakang kedua orang tua saya. Bahkan, ketika saya berada pada situasi yang sangat mengerikan dihadapan aparat bersenjata yang melecehkan, memukul & menendang kepala saya.
Tidak sedikitpun terpikirkan untuk memanfaatkan nama besar ayah saya agar diberikan pengampunan oleh aparat yang sedang menyiksa saya. Hanya satu yang ingin saya ketahui.
Bagaimana rasanya menjadi masyarakat kecil saat mereka ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan karena menuntut hak-haknya. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak semua anak bangsa diatas bumi manusia.
Saya bukan seorang anak yang hidup dalam kemewahan dan kekuasaan; sejak kecil saya berjuang melawan ketidakadilan. Ibu saya selalu menanamkan nilai-nilai keadilan dan welas asih. Harapan terbesar ibu saya adalah agar saya bisa berguna bagi masyarakat dan berpihak kepada mereka yang terpinggirkan.
Disaat yang lainnya memanfaatkan nama besar orang tuanya agar mendapatkan jabatan. Saya memilih mengirim doa untuk almarhum ayah saya.
“Ya Allah, Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).”
Takdir memilih saya terlahir sebagai anak dari seorang Jendral TNI di era Orde Baru dan penyanyi kampung dari sulawesi selatan. Saya tidak bisa menolak takdir itu.
Namun, hal itu tidak menutup hati nurani dan akal sehat saya untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Menolak penguasa membangun kuil dinasti keluarga disaat rakyatnya kesulitan mencari kerja, masyarakat adat digusur dan dikriminalisasi, pejuang hak asasi manusia dibunuh dan dikriminalisasi, biaya pendidikan mahal, bahan pokok mahal, & minimnya akses bantuan hukum terhadap masyarakat kurang mampu. Sebagai seorang manusia, hal itu yang tidak saya dapat terima.
Saya hanyalah seorang anak yatim yang sedang berjuang melawan ketidakadilan. Saya tidak berbeda dengan anak muda lainnya yang sedang berjuang melawan ketidakadilan di negeri ini.
(Muhammad Iqbal Ramadhan berkerja di LBH Jakarta. Putra dari pernikahan Machica Moctar dengan LetJen Moerdiono)