Cakraline.com. Jakarta – Organisasai perfilman yang tergabung dalam “Sapta Tunggal” (PPFI, PARFI, GPBSI, KFT, GASFI, PERFIKI, GASI) plus PWI Jaya Seksi Film, serta Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (YPPHUI) membahas masalah-masalah terkini di bidang perfilman di Chili Bar, Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh, H. Deddy Mizwar (Ketum PPFI), Hj. Alicia Djohar (Ketum PARFI), H. Djonny Syafrudin (Ketum GPBSI), Rudy Sanyoto (Ketum GASFI), Acang Sunaryo (Ketua GASI), Indrayanto Kurniawan (Sekjen KFT), Endiarto (PERFIKI), Irish Riswoyo (PWI Jaya Seksi Film), serta beberapa pengurus YPPHUI yang dikomandoi H. Sony PudjiSasono.
Pertemuan tersebut digagas salah satunya untuk persiapan mengadakan ”dialog” dengan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang telah dilantik beberapa hari sebelumnya oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka.
Pertemuan menyambut baik dihadirkan kembali Kementerian kebudayaan sebagai Lembaga yang mandiri untuk menangani masalah-masalah kebudayaan, termasuk masalah perfilman.
Perlunya menjaga eksistensi gedung Pusat Pefilman H. Usmar Ismail (PPHUI) sebagai satu-satunya ”situs sejarah” perfilman. Pusat kegiatan perfilman dan organisasi-organisasi perfilman yang oleh Pemerintah pada tahun 2008 telah menetapkan gedung PPHUI — termasuk Sinematek Indonesia di dalamnya sebagai pusat data dan arsip film — sebagai Objek Vital Nasional yang harus dilindungi, melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.34/HM.001/MKP/2008.
Kepemilikan Gedung Film di Jl. MT Haryono Kav. 47 – 48 Jakarta Selatan, saat ini gedung tersebut telah diambil-alih oleh Kementerian Pariwisata. Dahulu namanya Gedung Film, setelah diambil-alih oleh Kementerian Pariwisata, namanya menjadi Gedung Film Pesona Indonesia.
Gedung tersebut dibangun dengan biaya dari hasil importasi film di zaman ORBA, ditambah tukar-guling gedung BSF (Badan Sensor Film) yang dulunya terletak di belakang Gedung Sarinah serta Gedung Dewan Film Nasional di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Kini masyarakat perfilman tidak memiliki hak atas gedung tersebut.
Pertemuan mengusulkan, perlu dibentuk Direktorat Jenderal (khusus) Perfilman yang membawahi beberapa Direktur, seperti Direktur Produksi Film, Direktur Pengembangan SDM, Direktur IPTEK Perfilman, Direktur Pengembangan Pasar dan Promosi Pefilman, Direktur Kebijakan Fiskal dan Perpajakan Film serta Direktur Advokasi dan Perlindungan HAKI Perfilman. Masing-masing Direktur dibantu beberapa Kasubdit dan Kepala Seksi yang mempunyai dana dan SDM memadai serta waktu yang cukup untuk menangani masalah perfilman yang kompleks dan inter-disipliner.
Kementerian Kebudayaan, akan memberi harapan bagi insan film, baik pelaku kegiatan perfilman maupun para pelaku usaha di bidang perfilman. Selama hampir dua dekade terakhir, masalah perfilman nasional tidak tertangani secara maksimal.
Kurangnya alokasi dana dari Pemerintah, SDM pada birokrasi yang kurang memadai kemampuannya dalam menangani masalah perfilman nasional yang kian kompleks dan multi-disipliner.
Sehingga kedudukan Direktur Film yang digabung bersama Musik dan Media baru, praktis masalah perfilman hanya fokus ditangani oleh pejabat birokrasi setingkat Kepala Sub Direktorat (Eselon III).
Film selain berfungsi sebagai ”benteng budaya” Bangsa, kompleksitas perfilman juga mencakup unsur multi-disipliner seperti; Produksi film (ekonomi perusahaan), pengembangan SDM film (pendidikan kejuruan), pengembangan Jasa Teknik Perfilman (IPTEK), pengembangan pasar/promosi film (marketing dan periklanan), kebijakan fiskal dan Pajak Perfilman (Mikro Ekonomi), Advokasi dan penegakan HAKI (Hukum), dan lain sebagainya.
Menyadari kompleksitas dan kendala permasalahan di bidang perfilman tersebut menyebabkan film Indonesia belum menjadi Tuan/Nyonya di negeri sendiri. Film Nasional masih sering dianggap kurang mencerminkan wajah Indonesia dan kurang mampu menjadi “benteng” budaya Bangsa. Begitupun mengenai terbatasnya SDM Perfilman yang mumpuni, Teknologi Perfilman (IPTEK) yang masih tertinggal, adanya persaingan film nasional dengan film impor, serta pasar film nasional yang jauh lebih kecil dari potensi yang ada.
Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N), Badan sebenarnya belum pernah di bubarkan, hanya pengurusnya yang tidak ada. Meski sekarang ada Badan Perfilman Indonesia (BPI), hal tersebut berbeda tugas pokok dan fungsinya dengan BP2N. BPI adalah lembaga swasta mandiri yang tidak memiliki anggaran dari APBN karena BPI merupakan bagian dari bentuk peran-serta masyarakat.
Sementara BP2N, memiliki peran dan fungsi lebih kuat, karena juga berfungsi sebagai lembaga/badan arbitrase, yang bertugas memberi masukan/saran kepada pemerintah terkait perfilman, baik diminta maupun tidak diminta.
Organisasi perfilman sepakat, untuk mengundang Menteri Kebudayaan hadir di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail untuk berdialog dalam waktu yang tidak terlalu lama. “Bukan kita yang menghadap untuk audiensi, tapi Menterinya yang kita undang untuk berdialog. Karena kita belum tau Menterinya berkantor di mana?”, demikian pungkas Deddy Mizwar di akhir pertemuan.