Duka orang tua dibalik robohnya tembok MTsn 19 Jakarta Selatan
Cakraline.com. Foto Dandis Al Latif (13) bersama teman-temanya di dalam ruang kelas menjadi foto terakhir pelajar kelas 8 MTsN Pondok Labu, Jakarta Selatan itu yang miliki Yusnia (38). ” Ini foto terakhir Dendis diambil beberapa menit sebelum dia meninggal. Saya tak menyangka ini foto terakhir,” ungkap Yusnia ibunda Dandis.
Perempuan berhijab itu lama tertegun memperhatikan foto buah hatinya bersama teman-teman. Dendis terlihat bahagia dalam foto tersebut. Sejak awal Yusnia maupun suaminya M. Al Latif tak merasa ada firasat apapun menyangkut anaknya. ”Pagi itu saya antarkan Dendis sampai ke gerbang sekolah, sama seperti biasa dia masuk pamit dan cium tangan,” ucap Yusnia.
Yusnia tentu tak pernah menduga pagi itu adalah pertemuan terakhir dengan buah hatinya. Tak terbayangkan sebelumnya jika pagi Dandis terlihat bugar, namun sore pukul 15.00 wib, Yusnia mendapat kabar duka, putranya salah satu korban robohnya tembok MTsN 19 Pondok Labu.
Tembok pembatas antara area sekolah dengan permukiman warga, tembok terdorong arus banjir menimpa Dendis dan kawan-kawanya.
”Saya berusaha lebih tenang walaupun hati saya belum, tetapi banyak yang menyarankan saya tidak boleh menghambat jalan anak menuju surga. Mudah-mudahan anak saya sudah di surga, dia sahid sedang menuntut ilmu. Tadinya saya nggak terima, sekarang sudah bisa menerima,” tutur Yusnia.
Yusnia pun sudah mengiklaskan kepergian Dendis pengemar olah raga futsal itu. ”Bicara iklas memang mudah, tapi menjalankannya sulit. Saya pernah kehilangan orang tua, tapi kehilangan anak beda banget. Air mata saya kering, hari-hari saya menanggis. Sekarang saya sudah bisa iklas, mau sampai kapan saya larut dalam kesedihan,” ucap Yusnia dengan mata berkaca-kaca.
Suaminya M. Al LAtif menenangkan, ”Orang tua mana sih yang kuat, tapi kita belajar iklas, kita tinggal mendoakan.”
Yusnia berusaha tabah, ia selalu terbayang wajah Dendis saat berpisah di dapan pagar sekolah pagi itu, sekitar pukul 06.15 Wib. Tak ada kata-kata aneh kecuali salam perpisahan biasa. ”Enggak bisa saya ungkapkan perasaan ini, masih berduka saja. Masih seperti mimpi,” ucap Yusnia.
Hujan deras sepanjang siang tak membuat Yusnia cemas. Dia mulai cemas ketika guru mengabarkan melalui pesan pendek, agar orang tua datang untuk menjemput anak-anak. ”Kan belum waktunya pulang sekolah, belum pukul 2, anak-anak pulang sekolah pukul 3,” guman Yusnia dalam hati.
Namun sebelum pesan dia baca, Abit salah satu teman Dandis mengabarkan dengan suara terbata-bata,” Mama Dandis, Dandis ketiban. Saya tanya ketiban apa ? Sudah nggak ada jawaban, telpon mati,” kata Yusnia.
Yusnia memberitahu suaminya yang sedang bekerja di Cangkareng, Jakarta Barat. Suaminya meminta Yusnia mencari informasi disekolah. Walau hujan deras Yusnia dengan naik sepeda motor ke sekolah yang jarak 15 kilo meter dari rumah.
Dijalan Yusnia mulai resah, banjir, macet membuat dia kesulitan menembus genangan air. ”Hujan gede, jangan-jangan anak saya ketiban pohon. Tapi saya mikir lagi, pohon mana. Kalau rumah nggak mungkin itu kan sekolahan. Saya pikir mungkin ketiban pohon saja,” cerita Yusnia.
Yusnia mempunyai firasat tak buruk sesuatu yang serius telah terkadi pada anak bungsunya itu. ”Sebenarya waktu dapat kabar dari Abit, tubuh saya lemas, pikiran saya sudah jelek,” uapnya.
Karena hujan deras warga disekitar rumah tak ada yang keluar. Awalnya dia ingin meminta tlong tetangga untuk diantar karena kanan kiri nggak ada orang Yusnia jalan sendiri. ” Saya harus segera sampai di sekolah, saya harus melihat anak saya,” jelasnya.
Sebelum tempat pemancingan Pondok Labu Yusnia terjebak banjir. Air cukup tinggi menutup jalan. Semua kendaraan lain berhenti . Yusnia dengan gigih berusaha menerobos kemacetan dengan mencari selah jalan yang cukup untuk dilalui motor. ”Banjir hampir sebetis orang dewasa. Saya terus jalan, saya pengen cepat sampai sekolah,” katanya,
Motor Yusnia mogok karena terpaksa menebos banjir. ”Tiba tiba ada yang bantuin motor saya di dorong, saya pingirin motor hidup lagi, “ aku Yusnia.
Dibawah jembatan jalan tol Andara sebelum sampai di sekolah, Yusnia berpapasan dengan beberapa murid MTsN 19. Yusnia menanyakan anak tersebut kelas berapa, rupanya teman satu kelas Dendis. Dari pengakuan anak tersebut Yusnia mendapat kabar buruk. “ Dendis gimana ? dijawab, Dendis tinggal kepalanya,” ucap Yusnia. Nafasnya tertahan. Dada terasa turun naik. Dia tak menunjukkan rasa panik, namun air mata tak bisa dibendung.
Mendengar kabar tersebut Yusnia setenggah tak percaya, dia berusaha tak menanggis dijalan. Dia menguatkan diri. ”Kabar itu membuat hati saya hancur, saya pikir tentu kondisi Dendis parah, tapi saya berusaha tenang sampai ke sekolah” akunya. Yusnia tak sempat bertanya siapa anak tersebut karena mulai panik.
Selama wawancara Yusnia berusaha tidak menanggis namun naluri sebagai ibu tetap tak bisa menutupi perasaannya. Kedua matanya memerah dan berkaca-kaca. Dia menghapus setiap air mata handak keluar dengan lengan baju-nya.
Perasaannya campur aduk, ”Disini pikiran makin jelek karena anak saya dibilang tinggal kepalanya,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca
Yusnia ingin segera sampai disekolahan, sayangnya sekitar 500 meter jelang sekolah banjir kembali mengenangi jalan. Yusnia memarkir motor dipinggir jalan. Dia memutuskan jalan kaki berenang ditenggah kepungan banjir. ”Sampai disekolah banjirnya sudah sepingang, “ kata Yusnia.
Digerbang sekolahan Yusnia bertemu beberapa orang guru, ”Saya ditanya ibu mau ketemu siapa ? Anak saya Dendis,” kata Yusnia.
Sang guru tersebut memeluk tubuh Yusnia, dia tak memberikan informasi apa-apa tentang Dandis. Yusnia diminta untuk menenangkan diri. ”Anak saya dimana, bagaimana kondisinya. Nggak ada yang ngasih informasi, saya diminta untuk tetap tenang. Guru tersebut, mengatakan anak ibu sehat, anak ibu sehat,” ujarnya.
”Saya diminta duduk, dikasih minum saya ngak mau. Saya mau cari anak saya. Karena orangtua lain yang menjemputnya ada, sedangkan saya sendiri nggak ada,” keluhnya..
Yusnia diberitahu Dendis sudah dibawa ke rumah sakit. Tak dijelaskan dibawa kerumah sakit mana. Sempat terjadi ketengenggan, Yusnia minta didampingi ke rumah sakit mana. ”Nggak ada yang mau, mereka masih bingung apakah di RS Fatmawayti atau kemana,” katanya.
Salah seorang kerabat Yusnia yang bekerja di rumah sakit Prikasih, Pondok Labu mengabarka, sebaiknya langsung ke rumah sakit. ”Saya ditanya lagi dimana ? Disekolahan. Ngapain disana, Dendis ada disini,” kata Yusnia.
Keluarga juga masih merahasiakan bagaimana Dendis. . ”Enggak dijelaskan bagaimana kondisi Dendis, saya diminta segera datang, keluarga tak ingin saya panik,” ujarnya.
Dia ke rumah sakit naik motor. ”Saya menanggis sepanjang jalan, ada ditanya kenapa menanggis. Anak saya salah satu korban. Saya di antar seorang perempuan kerumah sakit,” ucapnya.
Di Prikasih, Yusnia menuju ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Seorang petugas menunjukkan jasad Dendis yang ditutup dengan kain putih. Yusnia meratap sambil memeluk tubuh kaku buah hatinya.
10 menit kemudian Yusnia membuka kain penutup tubuh anaknya. ”Saya beranikan diri membuka. Tubuhnya utuh. Hati saya benar-benar hancur. Saya tak berdaya,” katanya.
Dendis memiliki pribadi yang baik, ramah dan mudah bergaul. Dirumah waktunya dihabiskan dengan belajar, magrib belajar mengaji di mesjid tak jauh dari rumah. ”Saya nggak bisa salahin siapa-siapa. Ini adalah takdir. Dendis saya antar sehat pulang tinggal nama,” tutur Yusnia.