Pemindahan Ibukota Jakarta sebetulnya bukanlah wacana baru. Sudah ada sejak kepemimpinan Presiden Seokarno dengan mengambil tempat Palangkara Raya, Kalimantan Tengah. Kalau selama Orde Baru rencana tak pernah terdengar, mungkin pemindahan ibukota itu dianggap belum penting.
Barulah setelah 21 tahun era reformasi berjalan, Presiden Joko Widodo mengangkat kembali rencana Presiden Soekarno itu. Sangat diluar dugaan, rencana itu langsung final sebulan belakangan ini, dengan mengambil tempat di Kalimantan Timur, yakni sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegar
Banyak pihak yang kontra dengan keputusan itu. Terutam dalam hal ketersediaan anggaran yang hampir mencapai Rp500 trilyun. Bahkan, dunia internasional pun juga khawatir pada dampak yang ditimbulkan, yakni berkuranya hutan Indonesia di Kalimantan setelah rusak berat akibat penambangan.
Namun di sisi lain, ada juga dampak perubahan postif dari sisi politik kekuasaan atas pemindahan ibukota tersebut. Pengamat sosial politik Fachry Ali mengatakan, begitu Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan Ibukota Negara itu, pada Senin (26/8), maka dimulai lah periode yang disebut Post Java.
“Saya menyebut saat ini periode Post Java. Mengapa? Karena perubahan peta politik dan kekuasaan di Tanah Air yang semula berpusat pada tradisi dan gagasan Kebudayaan Jawa, yang berpusat pada kekuasaan elite, kini beralih kepada kekuasaan rakyat atau kekuasaan yang bersifat egaliter,”
ujar Fachry Ali usai memberikan masukan dan pandangan di acara Focus Grup Discussion (FGD) tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Kalimanatan Timur yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu (18/9/2019).
FGD itu, dipimpin Menteri LHK Siti Nurbaya, sedangkan paparan KLHS disampaikan Irjen KLHK Laksmi Wijayanti, dan juga pandangan dari Judith J Dipodiputro selaku pegiat pemberdayaan ekonomi suku-suku asli dan masyarakat termarjinalkan.
Lebih jauh Facry Ali mengatakan, dalam gagasan politik Jawa, kekuasaan sangat elitis dan penguasa berada di tengah atau di atas rakyat. Politik Jawa berlangsung dalam jangka waktu sangat lama, sehingga memperngaruhi politik dan kekuasan di Tanah Air. Tetapi ketika situasi politik berubah yakni reformasi yang membuka kesempatan setiap rakyat bisa tampil dan bertarung dalam kontestasi politik, baik Pilkada maupun Pilpres, politik Jawa berangsur berubah.
“Perubahan drastis terjadi saat Jokowi terpilih sebagai Presiden, terutama ketika dia menegaskan akan memindahkan Ibukota Jakarta ke Kalimantan, dan kemudian secara resmi mengumumkan tempat ibu kota baru yakni di Kalimantan Timur, maka saya menilai, berakhirlah era kekuasaan Jawa,” papar Fachri Ali menjawab pertanyaan usai FGD.
Jadi, kata Fachry,
Jokowi adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat, bukan penunjukan dari elite.
Jadi dia murni pemimpin yang berasal dari rakyat. Meski sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono juga dipilih oleh rakyat dalam Pilpres langsung 2004 dan 2009, tetapi pandangan dan kebijakannya masih bergantung pada pola gagasan kekuasan Jawa.
Mengenai FGD yang diselenggarakan KLHK, Fachry Ali sangat memuji, bukan saja karena srikandi yang berbicara memimpin FGD semuanya sangat pandai. Posisi KLHK sangat penting dan strategis, mengingat dalam perbincangan publik mengenai pemindahan Ibu kota, fokus perhatian masyarakat Indonesia maupun dunia tertuju pada aspek lingkungan dan daya dukung wilayah Kalimantan.
“Inisiatif KLHK mengumpulkan elemen masyarakat yang ahli dalam berbagai bidang sangat baik dan strategis dan banyak masukan yang postif dari FGD ini. Jadi saya sangat mendukung KLHK untuk terus menggelar FGD yang lebih fokus lagi, sehingga sejarah baru pemindahan ibukota dan awal periode Post Java berjalan mulus,” ujar Fachry Ali. (kh)